Sepakbola tak hanya hidup 90 menit saja, tetapi dia bisa merasuki
kehidupan penggemarnya diluar waktu tersebut. Selalu ada bahasan setelah
dan sebelum pertandingan. Dalam seminggu, beberapa media cetak dan
elektronik dapat menyajikan artikel-artikel dan berita seputar sepakbola
mulai dari pertandingan hingga kejadian diluar pertandingan yang masih
bersangkut-paut dengan sepakbola. Obrolan di bar-bar yang menyediakan
minuman keras hingga warung kopi pinggir jalan terjadi dari beberapa
pengunjung yang menyukai sepakbola. Lebih dari itu, sepakbola menjadi parts of life
bagi orang-orang yang sangat mencintainya. Olah raga yang secara modern
lahir di Inggris tersebut menjadi populer dan telah membudaya,
diwariskan dari generasi ke generasi, bahkan budaya-budaya atau kultur
baru yang berkaitan dengannya pun bermunculan. Mulai dari atas lapangan
hingga di tribun penonton.
Kebiasaan pemain saat memasuki lapangan maupun di dalam lapangan pun
bertransformasi menjadi budaya tersendiri, seperti misalnya perayaan gol
yang dipopulerkan Roger Milla pada awal 90an, mencabut rumput lalu
menciumnya saat akan memasuki lapangan, dan kebiasaan lainnya yang tak
hanya dilakukan seorang pemain saja namun sudah menular dilakukan banyak
pemain. Sementara dari sisi suporter tercipta berbagai kebiasaan
bagaimana cara mendukung, bagaimana cara merayakan kemenangan, bagaimana
cara berpakaian, yang kesemuanya itu, beberapa telah mendunia, menjadi
suatu budaya global.
Casual adalah salah satu subkultur yang hadir dari atas
tribun stadion sepakbola. Sebuah budaya berpakaian menggunakan merk-merk
ternama dunia yang sering disebut clobber. Kemunculannya di
akhir dekade 70an setelah suporter Liverpool kembali dari Italia dan
Prancis, dalam rangkaian pertandingan Liga Champion saat itu, mengenakan
pakaian dengan merk yang tak dikenal di Inggris seperti Sergio Tachini,
Fila Vintage, Kappa dan Adidas. Dengan mengenakan pakaian dengan
label-label terkenal tersebut, ternyata berhasil mengelabui para polisi
yang hanya mengetahui bahwa pelaku hooliganisme adalah para suporter
yang mengenakan sepatu boot Dr. Marten, celana jeans, dan jaket bomber.
Terang saja penggunaan paduan label-label terkenal, yang beberapa
namanya cukup dikenal di dunia mode semacam Burberry, tersebut menjadi
populer. Subkultur casual ini mencapai puncaknya pada akhir 80an dan terus berkembang hingga saat ini, dari vintage casual hingga urban modern casual. Beberapa merk menjadi identik dengan terrace fashion
tersebut seperti misalnya Stone Island, CP Company, Paul & Shark,
Aquascutum, hingga Prada. Film-film seperti ID, The Firm, Football
Factory dan yang Holywood banget yaitu Green Street Hooligan juga ikut
mempopulerkan casual.
Dari Inggris tak hanya casual, tetapi tindakan kekerasan
sekelompok suporter sepakbola yang dipopulerkan oleh media di sana
sebagai hooliganisme juga muncul. Sayangnya di Indonesia ada pergeseran
makna dari hooligan ini. Istilah hooligan sebenarnya memiliki konotasi
negatif, sebuah istilah yang menggambarkan tindakan agresif, ricuh,
rusuhnya para suporter dan paling sering digunakan sebagai penggambaran
perilaku kekerasan di dunia persuporteran. Sebuah fenomena yang dianggap
penyakit di Inggris sendiri. Phil Thorton, penulis buku Casual, dalam
sebuah wawancara mengatakan bahwa tidak semua casual itu hooligan, dengan kata lain perilaku-perilaku buruk hooliganisme tidak selalu ada pada para suporter yang bergaya casual di atas tribun. Selain dari gaya berpakaian dan berperilaku, muncul pula budaya menyanyikan lagu anthem atau lagu penyemangat, yang kerap kali disebut football chant.
Maksud dari menyanyikan lagu-lagu tersebut adalah untuk merayakan
pertandingan, memberi dukungan, mengintimidasi pihak lawan atau hanya
untuk membuat stadion bergemuruh.
Selain berbagai istilah di atas, ada lagi sumbangan istilah dari luar
Inggris yang telah membudaya dan meng-global, seperti kelompok ultras.
Sebuah kelompok suporter yang identik dengan kefanatikannya dalam
mendukung klub sepakbola. Kemunculan kelompok ultras pertama masih
diperdebatkan hingga sekarang. Pada tahun 1929 di Honggaria, muncul
kelompok suporter bernama Ferencváros ‘s Fradi-szív yang memiliki
karakteristik seperti ultras. Tidak hanya di Honggaria, kelompok
suporter yang dapat dikomparasi dengan ultras dibentuk juga di Brazil,
torcida organizada, pada tahun 1939. Torcida meramaikan tribunnya dengan
menabuh drum untuk mengiringi nyanyian mereka selama 90 menit dan juga
melemparkan gulungan kertas agar lebih semarak. Aksi hooliganisme juga
sering dilakukan, bahkan sampai mengorbankan nyawa dari para rivalnya
maupun kelompoknya sendiri. Negara yang paling banyak diasosiasikan
dengan ultras adalah Italia. Dalam sejarahnya tercatat bahwa kelompok
pertama ultras dibentuk tahun 1951 di Italia. Sedangkan penggunaan nama
ultras sendiri muncul dari suporter Samdoria pada tahun 1960an dengan
nama Ultras Tito Cucchiaroni. Ultras memberikan sebuah gaya dukungan
yang menarik dan penuh hingar bingar dengan tambahan pyro dan smoke bomb.
Kreatifitasnya tak hanya sampai di situ saja, muncul kembali sebuah
aksi membuat koreografi di atas tribun. Aksi koreografi yang berasal
dari ultras benua Eropa tersebut menjadi budaya yang lahir di atas
tribun selanjutnya yang akhirnya menjalar ke tribun-tribun stadion
beberapa belahan dunia termasuk di Indonesia.
Dari kota kita sendiri ada istilah Bobotoh, sebuah kata dari bahasa
Sunda yang berarti pendukung atau suporter. Sebuah identitas pokok yang
melekat pada pendukung Persib seperti halnya kata “tifosi” dari Italia,
keduanya memiliki makna yang sama namun beda nama.
Jaman sekarang, segala budaya tersebut bukan hanya milik negara
asalnya saja, tapi telah merambah jauh hingga tribun-tribun stadion di
segala penjuru dunia umumnya dan Indonesia pada khususnya. Sehingga bila
dikatakan semua hal tersebut adalah budaya luar dan dianggap tabu untuk
diimplementasikan beberapa diantaranya, maka boleh dibilang ketinggalan
jaman. Tak semua hal yang ada di tribun stadion rumah kita sendiri
adalah lahir 100% tanpa pengaruh budaya global, di sana ada akulturasi
budaya yang membentuk gaya dukungan, menumbuhkan berbagai perilaku di
atas tribun dan membangkitkan gairah dalam menikmati klub sepakbola
dalam bertanding
Sumber : Mengbal.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar