Jumat, 01 Mei 2015

Perbedaan antara "BURBERRY" dan "BURBERRYS"



Setidaknya ada dua jenis Burberry label , yang pertama berbunyi ' Burberrys ' ( karakter pertama adalah ibukota B , sisanya kecil dan dengan s . ​​The tanda kutip tunggal juga dicetak ) dan yang kedua berbunyi BURBERRY ( semua modal, tanpa s ) . Kantor utama Burberry di London telah mengkonfirmasi bahwa mereka berdua otentik Perusahaan berubah label dari ' Burberrys ' untuk BURBERRY 9 tahun yang lalu ( saya menulis buku ini pada tahun 2008 sehingga itu sekitar 1999) Berikutnya garis merek Burberry : 1 . Barang ' Burberrys ' kemungkinan besar dibuat di Inggris . Sejumlah kecil diproduksi di Italia dan Amerika Serikat


2 .
BURBERRY LONDON mungkin merek yang paling umum sekarang . Fitur sederhana , ia memiliki kata " London " di atasnya . Kata-kata yang tercetak di kedua biru tua atau label krem . Dalam kasus yang sangat langka latar belakang merah . Dalam item lain seperti celana , label adalah timbul pada sepotong kulit cokelat . Simbol berkuda mungkin atau mungkin tidak akan dicetak . Dalam produk sederhana seperti kaos biasanya dihilangkan . The Burberry London item mungkin paling diproduksi sekarang . Beberapa jaket dan mantel yang sekarang diproduksi di Malaysia . Jaket kulit yang diproduksi di Turki dan Italia . Kasmir jaket juga dibuat di Italia . Saya juga menemukan beberapa polo shirt diproduksi di Jepang .










3 . BURBERRY HITAM LABEL dan LABEL BIRU dua label yang tersedia hanya untuk pasar Jepang . Saya pikir merek Burberry pernah lisensi untuk sebuah perusahaan lokal yang disebut Sanyo Shokai korporasi (三陽 商会) . Perusahaan ini menangani merancang , item yang diproduksi di Cina . Hanya segelintir yang dibuat di Jepang . website :

http://www.burberry-blacklabel.com/
http://www.burberry-bluelabel.com/
http://www.sanyo-shokai.co.jp/


Blue label usually has the word "London", while black label never has it.



Setidaknya ada dua versi Label Hitam. Satu dengan berkuda biasanya ditemukan pada mantel. Sederhana satu ditemukan dari jaket untuk kemeja. Tas Label hitam dan tas juga memiliki desain yang sama label, hanya materi bukanlah kain tapi sepotong logam. Saat browsing Hitam atau Biru item Label, penting untuk membaca tag, baik harga atau tag komposisi kain. Anda bisa menebak bahwa semua baris berakhir dengan% adalah bahan. Tapi Anda juga perlu memverifikasi setidaknya dua baris penting. Salah satunya adalah nama perusahaan yang memiliki distribusi hak Sanyo Corp (三陽 会 社) dan negara yang memproduksi itu (日本 製 = dibuat di Jepang, 中国 製 = dibuat di Cina) 4. Burberry Prorsum adalah barang dari landasan pacu. Item tidak selalu menunjukkan pola cek nova. Label menunjukkan kata BURBERRY, berkuda, "DIDIRIKAN 1856", "Prorsum COLLECTION" atau kombinasi dari mereka. Beberapa label berwarna merah. Tidak ada kata "LONDON". Item hampir secara eksklusif dibuat di Italia meskipun beberapa yang dibuat di Inggris



The line below BURBERRY reads PRORSUM COLLECTION

Jumat, 17 April 2015

Sejarah Casuals

Casuals merupakan salah satu bagian dari budaya didalam sepak bola, yang identik dengan hooligansime dan pakaian-pakaian mahal bermerek. Sub kultur ini lahir pada akhir dekade 70-an, di Britania Raya, dimana ketika itu banyak para hooligan klub-klub sepak bola, mulai mengenakan pakaian-pakaian mahal untuk menghindari perhatian polisi. Mereka tidak lagi mengenakan atribut-atribut beraroma logo-logo klub kesayangan, agar tidak dikenali, sehingga lebih mudah untuk menyusup kelompok musuh dan untuk masuk kedalam pub.Jenis-jenis musik yang disukai oleh para Casuals pada akhir dekade 70-an adalah Oi!, Mod, dan Ska. Tak heran, karena beberapa Casuals itu merupakan pengikut dari sub kultur skinhead, mod, dan rude boy. Pada era 80-an, selera musik Casuals bersifat eklektik alias campur-campur. Pada akhir dekade 80-an dan 90-an awal, mereka cenderung menyukai scene Madchester (co: The Stone Roses), dan Rave. Dan di era 90-an saat sub kultur alternatif baru yang bernama Britpop, yang digunakan untuk melawan arus Grunge, para Casuals ini pun menjadi penggemar Britpop. Ada pengaruh kuat dari budaya Rave terhadap Casuals, rave sendiri cenderung menyerukan perdamaian, sehingga banyak dari Casuals ini yang mengenakan pakaian-pakaian khas mereka, namun justru menjauhkan diri dari tindak hooliganisme. Kadang-kadang banyak band-band yang bergaya Casuals saat dipanggung dan dalam sesi pemotretan, seperti yang dilakukan Damon Albarn dan kawan-kawan di BLUR dalam video “Parklife” Sejak itu Brutal pop khas BLUR (kadang disebut juga indie rock) telah menjadi jenis musik yang paling disukai oleh Casuals.

SEJARAH

Sejak pertengahan dekade 50-an, para pendukung sepak bola di Inggris sudah mulai terpengaruh dengan gaya berpakaian Teddy Boys, yang tumbuh pada masa itu. Dan asal-usul budaya Casuals sendiri dapat dilihat dalam sub kultur Mod pada awal 60-an. Para pemuda pengikut sub kultur Mod, mulai membawa gaya berpakaiannya ke dalam teras sepak bola. Kemudian pengikut-pengikut sub kultur lain seperti Skinhead juga membawa gaya berpakaiannya kedalam teras sepak bola. Ditandai dengan kebangkitan sub kultur Mod pada akhir 70-an, Casuals mulai tumbuh dan berubah setelah pendukung Liverpool, memperkenalkan merek-merek fashion Eropa yang mereka peroleh saat menemani klub kesayangan mereka melawan klub Perancis, Saint Etienne. Para pendukung Liverpool yang menemani klub kesayangan mereka menjalani laga melawan klub-klub Eropa, pulang ke Inggris dengan membawa pakaian-pakaian bermerek dari Italia dan Perancis, yang mereka jarah dari toko-toko.

Pada saat itu, para polisi masih fokus para pendukung yang bergaya Skinhead, dengan sepatu bot khasnya, Dr. Martens, dan tidak memperhatikan para penggemar yang menggunakan pakaian-pakaian mahal karya desainer-desainer ternama. Para pendukung Liverpool kemudian membawa lagi merek-merek pakaian yang tidak pernah dijumpai sebelumnya di Inggris. Dan para pendukung klub-klub lain pun mulai memburu merek-merek Eropa yang masih langka di Inggris. Adapun para pendukung Liverpool masih identik dengan Lacoste Shirt dan Adidas Training hingga saat ini. Label pakaian yang terkait dengan Casuals pada tahun 1980 meliputi: Edinburgh Woollen Mill, Fruit of the Loom, Fila, Stone Island, Fiorucci, Pepe, Benetton, Sergio Tacchini, Ralph Lauren, Henri Lloyd, Lyle & Scott, Adidas, CP Company, Ben Sherman, Fred Perry, Lacoste, Kappa, Pringle, Burberry dan Slazenger. Trend berpakaian terus berubah dan subkultur Casuals mencapai puncaknya pada akhir 1980-an. Dengan lahirnya scene musik Acid House, Rave and Madchester. Dan kekerasan dalam sub kultur Casuals memudar hingga batas tertentu.

1990s and 2000s

Pada pertengahan 1990-an, sub kultur Casuals mengalami kebangkitan besar, tetapi penekanan pada gaya telah sedikit berubah. Banyak para penggemar sepak bola mengadopsi Casuals tampak sebagai semacam seragam, mengidentifikasi bahwa mereka berbeda dari pendukung klub biasa. Merek seperti Stone Island, Aquascutum, Burberry dan CP company terlihat di hampir setiap klub, serta merek-merek klasik favorit seperti Lacoste, Paul & Shark dan Pharabouth. Pada akhir 1990-an, banyak pendukung sepak bola mulai bergerak menjauh dari merek-merek yang dianggap seragam Casuals, karena polisi mulai memerhatikan tindak tanduk Casuals. Selain itu beberapa desainer juga menarik produk-produk mereka setelah tau bahwa produk-produk mereka di pakai oleh Casuals. Meskipun beberapa Casuals terus memakai pakaian Stone Island di tahun 2000-an, banyak dari mereka yang telah mencopot logo kompas Stone Island sehingga merek pakaian mereka menjadi tidak ketahuan. Namun, dengan dua tombol masih menempel, orang yang tahu masih bisa mengenali pakaian Casuals lainnya. Pada akhir 90-an itu beberapa pasukan polisi mencoba untuk menghubungkan logo kompas Stone Island dengan neo-Nazi versi dari salib Celtic. Karena itu, label pakaian baru mulai memperoleh popularitas di antara Casuals. Seperti halnya produk-produk pakaian dari merek-merek ternama yang laku dipasaran, barang palsu yang murah juga mudah didapat. Prada, Façonnable, Hugo Boss, Fake London Genius, One True Saxon, Maharishi, Mandarina Duck, 6.876, dan Dupe telah mulai mendapatkan popularitas luas.




Casual fashion telah mengalami peningkatan popularitas di tahun 2000-an, setelah beberapa band-band Inggris seperti The Streets dan The Mitchell Brothers menggunakan pakaian kasual olahraga dalam video musik mereka. Budaya Casuals pun telah diangkat ke dalam media visual seperti film-film dan program televisi seperti ID, The Firm, Cass, The Real Football Factory dan Green Street Hooligans 1 & 2. Pada tahun 2000-an, label pakaian yang terkait dengan pakaian Casuals termasuk: Stone Island, Adidas Originals, Lyle & Scott, Fred Perry, Armani, Three stroke, Lambretta, Pharabouth dan Lacoste. Namun menjelang akhir dekade 2000-an banyak Casuals yang menggunakan label-label independen seperti Albam, YMC, APC, Folk, Nudie Jeans, Edwin, Garbstore, Engineered Garments, Wood Wood dan Superga. Namun merek besar seperti Lacoste, Ralph Lauren dan CP Company masih popular di kalangan Casuals
 

Casual culture masuk indonesia

Sepakbola tak hanya hidup 90 menit saja, tetapi dia bisa merasuki kehidupan penggemarnya diluar waktu tersebut. Selalu ada bahasan setelah dan sebelum pertandingan. Dalam seminggu, beberapa media cetak dan elektronik dapat menyajikan artikel-artikel dan berita seputar sepakbola mulai dari pertandingan hingga kejadian diluar pertandingan yang masih bersangkut-paut dengan sepakbola. Obrolan di bar-bar yang menyediakan minuman keras hingga warung kopi pinggir jalan terjadi dari beberapa pengunjung yang menyukai sepakbola. Lebih dari itu, sepakbola menjadi parts of life bagi orang-orang yang sangat mencintainya. Olah raga yang secara modern lahir di Inggris tersebut menjadi populer dan telah membudaya, diwariskan dari generasi ke generasi, bahkan budaya-budaya atau kultur baru yang berkaitan dengannya pun bermunculan. Mulai dari atas lapangan hingga di tribun penonton.
Kebiasaan pemain saat memasuki lapangan maupun di dalam lapangan pun bertransformasi menjadi budaya tersendiri, seperti misalnya perayaan gol yang dipopulerkan Roger Milla pada awal 90an, mencabut rumput lalu menciumnya saat akan memasuki lapangan, dan kebiasaan lainnya yang tak hanya dilakukan seorang pemain saja namun sudah menular dilakukan banyak pemain. Sementara dari sisi suporter tercipta berbagai kebiasaan bagaimana cara mendukung, bagaimana cara merayakan kemenangan, bagaimana cara berpakaian, yang kesemuanya itu, beberapa telah mendunia, menjadi suatu budaya global.
Casual adalah salah satu subkultur yang hadir dari atas tribun stadion sepakbola. Sebuah budaya berpakaian menggunakan merk-merk ternama dunia yang sering disebut clobber. Kemunculannya di akhir dekade 70an setelah suporter Liverpool kembali dari Italia dan Prancis, dalam rangkaian pertandingan Liga Champion saat itu, mengenakan pakaian dengan merk yang tak dikenal di Inggris seperti Sergio Tachini, Fila Vintage, Kappa dan Adidas. Dengan mengenakan pakaian dengan label-label terkenal tersebut, ternyata berhasil mengelabui para polisi yang hanya mengetahui bahwa pelaku hooliganisme adalah para suporter yang mengenakan sepatu boot Dr. Marten, celana jeans, dan jaket bomber. Terang saja penggunaan paduan label-label terkenal, yang beberapa namanya cukup dikenal di dunia mode semacam Burberry, tersebut menjadi populer. Subkultur casual ini mencapai puncaknya pada akhir 80an dan terus berkembang hingga saat ini, dari vintage casual hingga urban modern casual. Beberapa merk menjadi identik dengan terrace fashion tersebut seperti misalnya Stone Island, CP Company, Paul & Shark, Aquascutum, hingga Prada. Film-film seperti ID, The Firm, Football Factory dan yang Holywood banget yaitu Green Street Hooligan juga ikut mempopulerkan casual.
Dari Inggris tak hanya casual, tetapi tindakan kekerasan sekelompok suporter sepakbola yang dipopulerkan oleh media di sana sebagai hooliganisme juga muncul. Sayangnya di Indonesia ada pergeseran makna dari hooligan ini. Istilah hooligan sebenarnya memiliki konotasi negatif, sebuah istilah yang menggambarkan tindakan agresif, ricuh, rusuhnya para suporter dan paling sering digunakan sebagai penggambaran perilaku kekerasan di dunia persuporteran. Sebuah fenomena yang dianggap penyakit di Inggris sendiri. Phil Thorton, penulis buku Casual, dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa tidak semua casual itu hooligan, dengan kata lain perilaku-perilaku buruk hooliganisme tidak selalu ada pada para suporter yang bergaya casual di atas tribun. Selain dari gaya berpakaian dan berperilaku, muncul pula budaya menyanyikan lagu anthem atau lagu penyemangat, yang kerap kali disebut football chant. Maksud dari menyanyikan lagu-lagu tersebut adalah untuk merayakan pertandingan, memberi dukungan, mengintimidasi pihak lawan atau hanya untuk membuat stadion bergemuruh.
Selain berbagai istilah di atas, ada lagi sumbangan istilah dari luar Inggris yang telah membudaya dan meng-global, seperti kelompok ultras. Sebuah kelompok suporter yang identik dengan kefanatikannya dalam mendukung klub sepakbola. Kemunculan kelompok ultras pertama masih diperdebatkan hingga sekarang. Pada tahun 1929 di Honggaria, muncul kelompok suporter bernama Ferencváros ‘s Fradi-szív yang memiliki karakteristik seperti ultras. Tidak hanya di Honggaria, kelompok suporter yang dapat dikomparasi dengan ultras dibentuk juga di Brazil, torcida organizada, pada tahun 1939. Torcida meramaikan tribunnya dengan menabuh drum untuk mengiringi nyanyian mereka selama 90 menit dan juga melemparkan gulungan kertas agar lebih semarak. Aksi hooliganisme juga sering dilakukan, bahkan sampai mengorbankan nyawa dari para rivalnya maupun kelompoknya sendiri. Negara yang paling banyak diasosiasikan dengan ultras adalah Italia. Dalam sejarahnya tercatat bahwa kelompok pertama ultras dibentuk tahun 1951 di Italia. Sedangkan penggunaan nama ultras sendiri muncul dari suporter Samdoria pada tahun 1960an dengan nama Ultras Tito Cucchiaroni. Ultras memberikan sebuah gaya dukungan yang menarik dan penuh hingar bingar dengan tambahan pyro dan smoke bomb. Kreatifitasnya tak hanya sampai di situ saja, muncul kembali sebuah aksi membuat koreografi di atas tribun. Aksi koreografi yang berasal dari ultras benua Eropa tersebut menjadi budaya yang lahir di atas tribun selanjutnya yang akhirnya menjalar ke tribun-tribun stadion beberapa belahan dunia termasuk di Indonesia.
Dari kota kita sendiri ada istilah Bobotoh, sebuah kata dari bahasa Sunda yang berarti pendukung atau suporter. Sebuah identitas pokok yang melekat pada pendukung Persib seperti halnya kata “tifosi” dari Italia, keduanya memiliki makna yang sama namun beda nama.
Jaman sekarang, segala budaya tersebut bukan hanya milik negara asalnya saja, tapi telah merambah jauh hingga tribun-tribun stadion di segala penjuru dunia umumnya dan Indonesia pada khususnya. Sehingga bila dikatakan semua hal tersebut adalah budaya luar dan dianggap tabu untuk diimplementasikan beberapa diantaranya, maka boleh dibilang ketinggalan jaman. Tak semua hal yang ada di tribun stadion rumah kita sendiri adalah lahir 100% tanpa pengaruh budaya global, di sana ada akulturasi budaya yang membentuk gaya dukungan, menumbuhkan berbagai perilaku di atas tribun dan membangkitkan gairah dalam menikmati klub sepakbola dalam bertanding

Sumber : Mengbal.com

Sejarah kaum mods

 Kata “mods” merupakan kependekan dari kata modernism/ modernist. Ini adalah subkultur anak muda yang berkembang di Inggris pada akhir ‘50-an sampai pertengahan ‘60-an.
Sebenarnya, di awal kemunculannya, terminologi Mods ini ditujukan kepada para fans dari musik modern jazz. Seiring perkembangan waktu, term ini bergeser lebih luas lagi. Meliputi fashion dan lifestyle yang menyeruak di kalangan itu. Seperti pakaian necis, skuter, pop art dan film-film Perancis yang mulai berkembang di era ‘60-an.
Beberapa data menyebutkan kalo Mods dan juga musuh bebuyutannya, rockers, merupakan turunan dari subkultur Inggris di awal ‘50-an, Teddy Boys. Sekadar informasi, Teddy Boys ini merupakan sekumpulan anak muda Inggris yang sangat dipengaruhi oleh gaya rock n’ roll Amerika.
Meski pun lahir di Inggris, subkultur ini berhasil menyerang anak muda di seluruh dunia. Baik itu fashion atau pun band-bandnya. Band? Yoi. Soalnya pergerakan subkultur Mods itu dibentuk oleh tiga elemen: musik, fashion dan skuter!

Subkultur Mods dimulai sekitar tahun 1958. Ketika sekelompok anak muda kelas menengah di London terobsesi dengan musik dan tren fashion terbaru. Saat itu mereka tergila-gila dengan setelan jas ngepas ala desainer Italia dan musik modern jazz dan R&B.
Sebenarnya, membuat stelan model Italia nggak terjangkau untuk ukuran kantong kelas pekerja. Biasanya,stelan ini adalah monopoli para konglomerat masa itu.
Tapi, entah bagaimana, stelan Italia tiba-tiba jadi hal yang biasa ditemukan di lingkungan anak-anak kelas pekerja. Belakangan, baru diketahui kalo ada beberapa anak kelas pekerja yang punya channel pada para pedagang garmen di London. Hal ini membuat mereka lebih leluasa untuk membeli bahan, dan membawanya ke tukang jahit terdekat guna menjahit stelan jas sesuai keinginan.
Biasanya, saat mengenakan stelan andalan, kaum Mods sering nongkrong di Carnaby Street, London. Saat itu, di sepanjang jalan berjejer butik-butik fashion, toko-toko musik independen, dan gerai desainer-desainer terkemuka kayak Mary Quant, dan juga barisan tukang jahit andal. Konon, mereka sengaja nongkrong di situ untuk “mengejek” golongan berduit. Pamer kalo mereka juga bisa menggunakan jas yang mahal!
Berbekal gaya yang oke, mereka jadi lebih leluasa keluar-masuk klub malam. Tempat di mana mereka bisa maksimal memamerkan pakaian dan gerakan-gerakan dansa mutakhirnya.
Klub-klub tempal nongkrong favorit kaum Mods adalah The Scene dan The Flamingo di London. Selain itu, ada juga Twisted Wheel Club di Manchester.
Untuk mendukung gaya hidup mereka yang sering hang out di klub’ hingga tengah malam, alat transportasi jelas dibutuhkan. Pasalnya, kendaraan umum di Inggris saat itu nggak ada yang beroperasi sampai larut malam.
Maka, dipilihlah skuter sebagai alat transportasi resmi mereka. Biasa bermerk Vespa atau Lambretta. Alasannya sederhana aja: murah, jack !
Ya, dengan kondisi keuangan mereka yang notabene rada cekak, mobil sama sekali bukan pilihan. Hanya skuter yang harganya masih terjangkau. Jadi sama sekali bukan masalah keren-kerenan. Hehehe.
Satu hal yang unik dari skuter kaum Mods adalah; jumlah kaca spion yang terpasang bisa mencapai puluhan. Ini merupakan bentuk perlawanan mereka terhadap peraturan pemerintah Inggris yang mengharuskan kendaraan roda dua untuk memasang setidaknya 1 kaca spion saat itu.
Ketika mengendari skuter kebanggaan, mereka biasa memakai parka. Parka adalah semacam jaket/ jas yang panjangnya sampai ke dengkul. Selain menahan angin, fungsi utama dari jaket ini adalah untuk melindungi pakaian mahal yang mereka kenakan di dalam. Waduh!
Akhirnya, lifestyle ini pun berkembang ke seluruh Inggris. Gaya ini nggak lagi cuma milik anak muda kelas menengah, tapi menyebar ke seluruh strata ekonomi. Begitu juga dengan musik yang mereka dengarkan, nggak lagi sebatas jazz dan R&B melainkan merembet ke musik soul, ska dan bluebeat.
Salah satu band Mods era awal yang beken dan jadi omongan sampai sekarang adalah The Who. Band ini sering dituding sebagai band palingberpengaruh bagi band-band yang muncul di seluruh dunia, sesudahnya.
Band yang terbentuk di Inggris pada tahun 1964 ini awalnya digawangi oleh Pete Townshend (gitaris), Roger Daltrey (vokalis), John Entwistle (bassis) and Keith Moon (drummer). Formasi ini dianggap sebagai formasi tersolid dari band yang saat ini diperkuat juga oleh Zachary Starkey, anak Ringo Starr, drummer The Beatles itu.

Pete Townshend, merupakan salah satu sosok yang cukup dikagumi oleh anak-anak Mods. Malah bisa dibilang doi adalah salah satu ikon Mods masa itu.
Penyebabnya, nggak lain dan nggak bukan adalah kedekatannya pada gaya hidup Mods, Sela/n itu, aksi panggungnya bareng The Who sukses bikin orang menganga. Gimana nggak, dia dan temen-temennya rajin banget menghancurkan alat musik saban nanggung. Mulai dari membanting gitar, merusak ampli, dan lain sebagainya.
Selain The Who, band yang cukup esensial dikalangan anak mods adalah The Small Faces. Band yang berdiri lahun 1965 ini sebenarnya nggak berumur panjang. Cuma sekitar empat tahun. Tapi, barisan lagunya kayak ‘tihycoo Park, Lazy Sunday, dan Alt or Nothing, masih ada di playlist anak-anak Mods, sampai sekarang.
Selain dua nama di atas, masih ada band-band yang bisa dijadiin referensi dari masa itu. Sebut aja Georgie Fame, the Animals, The Yardbirds, The Kinks, dan The Spencer Davis Group, The Action, Zool Money dan The Creation.
Meskipun tongkrongannya rapi, jangan pikir kalo anak-anak Mods ini juga kalem-kalem. Kayak yang udah disebutin di awal, anak-anak mods ini punya musuh bebuyutan. Yaitu geng Rockers. Rockers identik dengan jakel kulit dan sepeda motor. Musik yang mereka dengarkan lebih ke band-band rockabilly dan rock n’ roll.
Nggak jelas juga, apa yang menyebabkan kedua pihak ini bermusuhan. Ada yang bilang Rockers nggak suka sama gaya anak Mods yang sok kaya. Ada lagi pendapat yang mengatakan kalo ideologi keduanya bertabrakan dan nggak bisa didamaikan. Apa pun alasannya, yang pasti tiada pertemuan tanpa perkelahian buat kedua geng ini.
Yang nggak bisa dilupakan adalah perkelahian besar antara anak Mods dan Rocker di tahun 1964. Kejadiannya bertepatan dengan Bank Holiday yang merupakan di hari libur nasional Inggris. Hari itu, perkelahian kedua geng ini terjadi di beberapa titik. Mulai dari Pantai Brighton, Margate, Hasting dan Clacton.
Konflik ini nggak berhenti di hari itu. Malah, berkepanjangan ke hari-hari berikutnya. Kondisi ini sempat membuat panik masyarakat Inggris.
Penyebab kedua kubu ini semakin saling membenci adalah media Inggris. Mereka selalu saja mengangkat isu rivalitas kedua kubu ini sebagai headline. Lengkap dengan foto perkelahiannya. Bahkan, ceritanya nggak jarang dibesar-besarkan.
Gara-gara terpancing media inilah, kedua geng semakin seru saja berkelahi. Pokoknya, mereka penasaran dan berusaha terlihat sebagai pemenang. Nggak peduli, semahal apa pun bayarannya.
Untungnya, budaya tawuran ini menghilang di pertengahan ‘60-an. Penyebabnya adalah mewabahnya musik psychedelic rock dan budaya hippie. Yang membawa semangat perdamaian dan persaudaraan serta kembali ke alam. Pola pikir yang sebenarnya bertolak belakang dengan gaya Mods.
Saat itu, gaya hidup Mods mulai ditinggalkan. Bahkan band-band kayak The Who dan Small Faces merubah gaya bermusik mereka dan nggak lagi merepresentasikan mereka sebagai Mods. Gaya bohemian dan hippie ternyata punya magnet yang amat kuat. Rayuannya sukses membuat dedengkot Mods tergila-gila. Dan, Mods pun mati suri.
Entah apa yang ada di pikiran para personil The Who, saat mereka tiba-tiba merilis sebuah film pada 14 September 1979.
Film yang dikasih judul sama kayak judul album The Who pada tahun 1973, Quadrophenia, ini ceritanya pengen ngegambarin subkultur Mods lewat kacamata seorang penganutnya yang bernama Jimmy. Di situ digambarin segala kebiasaan kaum Mods. Naik skuter dan pake baju rapi ke mana-mana, klabing di klab mewah padaha) duit cekak, plus berantem sama Rockers. Film ini sempat di kritik habis-habisan oleh pengamat film saat itu. Dianggap udah nggak relevan lagi sama nilai-nilai di masyarakat. Namun kenyataan berkata lain. Tanpa diduga-duga, film ini justru membangkitkan kembali gairah anak muda Inggris dan menaikkan kembali pamor Mods yang sebenarnya sudah turun banget saat itu.
Pendek kata, setelah film ini, hadirlah Mods gelombang kedua atau biasa disebut era Mods revivalist Meskipun sebenarnya film ini hanyalah pemantik akhir dari bangkitnya Mods Revival ini. Bau-bau kehadiran kembali Mods ini sebenernya udah dimulai saat Great British Music Festival yang digelar di Wembley pada tahun 1978. Persisnya saat The Jam manggung.
Ya, The Jam adalah salah satu band yang memimpin era revivalist Band yang digawangi olen Paul Weller, Bruce Foxton dan Rick Buckler ini terbentuk pada tahun 1972. Setelah merilis enam album studio dan tiga album live, The Jam bubar jalan pada 1982. Selain The Jam, ada beberapa band yang dianggap besar pengaruhnya pada kelahiran kembali Mods di akhir 70-an. Mereka adalah Secret Affair, Purple Hearts, The Chords, dan Back to Zero.
Generasi Britpop yang naik pada era ‘90-an juga sedikit banyak mendapatkan pengaruh dari era Mods Revival ini. Band-band kayak Ride, Oasis, Blur dan Ocean Colour Scene adalah beberapa di antara banyak band yang mengaku terpengaruh gerakan ini.
Sayangnya kepopuleran Mods Revival ini nggak berlangsung lama, meskipun pengaruh yang ditimbulkannya retap bertahan berdekade-dekade.
Sekarang, subkultur Mods telah merambah ke seluruh penjuru dunia. Dan hingga saat ini subkultur ini tetap bertahan sebagai bagian dari kultur underground (eyank1968)

sumber : http://mods-1968.blogspot.com/2009/10/ketika-musik-fashion-scooter-bersatu.html